TAFSIR SURAT AL-MAUN
﴿ اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ – فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ – وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ – فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ – وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ ٧ ﴾
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orang-orang yang berbuat riya, 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
PENJELASAN AYAT-AYAT
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ ١
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?[1]
Maksudnya, wahai Muhammad, tahukah engkau orang-orang yang mendustakan agama? Yaitu yang mendustakan tempat kembali di akhirat, balasan dan pahala? 2 Akibatnya, ia tidak menaati Allah dalamhal perintah dan larangan-Nya.3 Pendiriannya itu benar ataukah salah? 4
Sebagian ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan individu tertentu. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang ada tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Di awal ayat, meski bentuk khithâb (arah pembicaraan) secara langsung tertuju kepada Rasulullah ﷺ , namun konteks kandungan hukumnya bersifat umum, tertuju kepada semua orang.5
Kemudian, pada ayat-ayat berikutnya, Allah سبحانه وتعالى mendefinisikan orang-orang yang mendustakan agama pada surat yang mulia ini.
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ ٣
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Di sini, Allah سبحانه وتعالى mulai memerinci perilaku yang mencerminkan sikap mendustakan terhadap hari Pembalasan. Pada dua ayat di atas, Allah menghimpun dua sifat buruk sekaligus.6
- Pertama. Tidak iba terhadap anak-anak yatim yang sebetulnya sangat membutuhkan curahan kasihsayang dan dipamahami perasaannya. Karena mereka telah kehilangan ayah sebelum usia baligh. Hati mereka terasa terkoyak dengan kejadian tersebut. Sehingga ia sangat membutuhkan kehadiran orang lain untuk mengobati kesedihannya. Oleh karena itu, terdapat sejumlah nash yang memerintahkan untuk mencurahkan kebaikan kepada anak-anak yatim. Namun, orang yang dimaksud oleh kandungan ayat ini justru menolak anak yatim dengan kasar.
- Kedua. Tidak menghimbau orang lain untuk mengasihi kepada sesama yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin yang sangat memerlukan bantuan makanan. Tentu, hati orang tersebut lebih tidak tergerak lagi untuk menyisihkan makanan bagi kaum papa itu. Hatinya seolah sudah begitu membatu lagi kaku. Atau lebih keras dari batu sehingga tidak ada rasa iba pada hatinya, baik kepada anak-anak yatim maupun orang-orang miskin.7
Yang menjadi pemicu perilaku tercela itu, tidak lain karena kebekuan hati yang disebabkan dari sifat bakhil dan mendustakan hari Pembalasan. Dari tinjauan kemanusiaan saja, dua sikap buruk itu tidak pantas muncul dari seseorang, apalagi seorang muslim. Sebab, anak yatim dan orang miskin termasuk dalam kategori yang berhak memperoleh uluran tangan. Orang yang dimaksud dalam ayat ini, tetap saja tak peduli dengan sikapnya itu. Tidak terbetik dalam dirinya untuk mengharap pahala dantakut terhadap siksa Allah سبحانه وتعالى . Seperti firman Allah سبحانه وتعالى dalam surat al-Hâqqah/69 ayat 34:
وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ ٣
[Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin]
Allah سبحانه وتعالى telah menjelaskan di ayat lain, bahwa keimanan kepada hari Pembalasan akan mendorong seseorang mudah untuk mengulurkan bantuan makanan bagi anak yatim dan orang miskin. Allah سبحانه وتعالى berfirman :
﴿اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا ﴾
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Qs al-Insân/76:9).
Lantas Allah سبحانه وتعالى menjelaskan faktor yang mendorong mereka agar melakukan kebaikan tersebut. Yakni :
﴿اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا ﴾
Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (Qs al-Insân/ 76:10).
Jiwa manusia memiliki tabiat enggan mengeluarkan yang dia miliki kecuali jika ada timbalbalik yang menguntungkan, dan tidak menahan diri kecuali karena rasa takut dari pihak yang ia khawatirkan. Adapun rasa takut dari anak yatim dan orang miskin ia abaikan, karena keadaan mereka lemah dan tidak mempunyai pembela. Harapan untuk memperoleh keuntungan dari mereka pun sulit diwujudkan. Sehingga tidak ada yang dapat menjadi pendorong untuk bersikap baik kepada mereka dan tidak ada penghambat untuk berlaku semena-mena kepada mereka, kecuali karena keimanan kepada hari Pembalasan.8
Siapa saja yang ingin menyaksikan orang-orang yang hakikatnya mendustakan hari Pembalasan, ia bisa melihatnya pada orang-orang yang berbuataniaya, semena-mena, berhati keras, tidak mengasihi, enggan memberi, dan tidak sudi berbuat kebaikan (bagi orang lain).9
Celaan yang terdapat pada ayat di atas tidak bersifat umum, sehingga tidak menyangkut orangorang yang tidak mengerjakannya lantaran ketidakmampuan. Akan tetapi, orang-orang yang masuk ke dalam pengertian ayat ini, mereka sangat bakhil dan kemudian berupaya mencari-cari alasan untuk bisa tetap “bakhil”. Sehingga maknanya, mereka itu tidak melakukannya meski mampu dan tidak menghimbau orang lain untuk mengerjakannya jika sedang mengalami kesulitan.10
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ٥
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. [4] (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [5].
Selanjutnya, sifat buruk lainnya yang menjadi indikasi mendustakan agama, ialah melalaikan kewajiban shalat yang merupakan ibadah terpenting setelah syahadatain.
Kata wail, menurut Imam ath-Thabari رحمه الله , ialah sebuah jurang berisi nanah para penghuni neraka yang mengalir. 11 Sebagian ulama menafsirkannya sebagai ungkapan ancaman. Lafazh ini beberapa kali diulang dalam Al-Qur‘ân. Maksudnya, ancaman yang keras terhadap orangorang tersebut.
Orang-orang itu mengerjakan shalat bersama yang lain atau menunaikannya sendirian. Tetapi, mereka ‘an shalâtihim sâhun (lalai dari shalanya). Yaitu tidak menegakkannya dengan tata-cara yang benar, menundanya dari waktu yang utama, tidak menyempurnakan tata cara ruku’, sujud, berdiri dan duduknya dalam shalat. Tidak membaca bacaan yang wajib seperti ayat-ayat Al-Qur`ân atau dzikir. Memasuki shalat dalam keadaan lalai. Hatinya melayang ke sana kemari. Perbuatan seperti ini tercela, karena muncul dengan kesengajaan.
Termasuk dalam konteks ini, yaitu orangorang yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid (dengan sengaja, Pen.). Sehingga tidak diragukan lagi, berdasarkan keterangan Syaikh al- ’Utsaimin رحمه الله bahwa mereka termasuk dalam ancaman di atas. 12
Adapun Imam Ibnu Katsir رحمه الله menulis keterangan, bahwasanya ancaman itu tertuju kepada orang-orang yang sebenarnya harus melaksanakannya, akan tetapi mereka melalaikan awal waktu. Yaitu sering atau selalu mengakhirkan shalat sampai di penghujung waktu yang telah ditentukan, atau melalaikannya dengan tidak menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya sebagaimana tata-cara yang seharusnya, maupun melalaikan khusyu’ dan perenungan di dalamnya.
Lafazh ayat di atas mencakup semua ini secara keseluruhan. Siapa saja, yang pada dirinya terdapat perbuatan-perbuatan yang seperti itu, maka ia mendapat ancaman sebagaimana tertera dalam ayat ini. Adapun seseorang yang sudah dipenuhi dengan sifat-sifat tersebut, maka pada dirinya bersemayam besarnya nifaq ‘amali. Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits dalam Shahihain, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
تِلْكَ صَلَاةُ المُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيْهَا إِلَّا قَلِيْلًا
Itu adalah shalat orang munafiq. Itu adalah shalat orang munafiq. Itu adalah shalat orang munafiq. Dia duduk menunggu (pergeseran) matahari. Sampai ketika berada di antara dua tanduk setan, ia beranjak berdiri (melaksanakan shalat empat rakaat dengan cepat), tidak mengingat Allah padanya kecuali hanya sedikit saja. (HR Muslim, 622).13
Kekurangan-kekurangan dalam shalat tersebut sebagai bias dari kurangnya perhatian terhadap perintah Allah, dengan menyia-nyiakan ibadah shalat yang merupakan amalan ketaatan yang penting dan ibadah yang paling afdhal. Sikap melalaikan shalatitulah yang menyebabkan datangnya celaan dan cacian bagi pelakunya.
Hal ini tentu berbeda jika berkaitan dengan masalah lupa dalam shalat. Karena lupa bisa terjadi pada setiap orang. Bahkan Rasulullah ﷺ pun pernah mengalami kelupaan.14 Alasannya, dilihat dari tinjauan makna, karena terjadi perbedaan yang sangat jelas antara sahwun ‘anish-shalah (lalai terhadap shalat) dengan sahwun fish-shalah (mengalami kelupaan dalam shalat).
Yang pertama karena muncul dari kesengajaan untuk menyepelekan perkara shlat. Sedangkan pengertian yang kedua, timbul karena lupa yang tidak terlepas dari manusia. Misalnya lupa jumlah rakaat yang telah dikerjakan, atau perkara-perkara wajib dalam shalat. Kejadian semacam ini pernah dialami oleh Rasulullahn, padahal beliau adalah manusia yang paling besar perhatiannya terhadap perkara shalat, dan pernah pula bersabda: “Telah dijadikan kesejukan pandangan mataku di dalam shalat”. Meskipun demikian, beliau pernah mengalami sahwun dalam shalat, dan itu bukan peristiwa yang tercela.15 Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-’Arabi رحمه الله , bahwa terpelihara secara total dari lupa merupakan perkara yang muhâl (mustahil).16
Sebagian kalangan ahli tafsir menukil penafsiran Sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau c menyatakan bahwa ayat ini langsung ditujukan kepada kaum munafiqin. Mereka hanya mengerjakan shalat bila sedang bersama orang lain semata.17 Jadi orang semacam ini, pada dasarnya, ia tidak mengerjakan shalat sama sekali. Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang kaum munafiqin dalam mengerjakan shalat :
﴿ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ ﴾
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (Qs an-Nisâ‘//4: 142).18
Penafsiran ini dikuatkan oleh ayat berikutnya, yang menyinggung sifat riya pada orang-orang yang disebut sebagai mendustakan agama. Allah سبحانه وتعالى berfirman :
﴿ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ﴾
Orang-orang yang berbuat riya [6].
Hakikat ar-riya‘, ialah thalabu ma fid dun-ya bil-’ibâdah. Pengertiannya, ingin memperoleh kenikmatan duniawi melalui peribadahan. Pada asalnya, bermakna hasrat untuk mendapatkan tempat di hati manusia. Mereka ingin memperlihatkan kepada manusia bahwa ia sedang menjalankan amalan ketaatan. Jadi, mengerjakan shalat semata-mata dipakai hanya sebagai perisai diri. Untuk memperlihatkan jika dirinya sedang beribadah shalat. Padahal keinginannya yang sebenarnya ialah agar ia disebut sebagai orang yang mengerjakan shalat saja.19 Bukan lantaran berharap pahala atau takut dari siksa. Sehingga darah dan keturunan mereka terpelihara. Mereka itu seperti kaum munafiqin pada zaman Rasulullah ﷺ , yang menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan keislaman.20
Selain itu, ketika mereka mengerjakan amal ketaatan, tujuannya untuk mencari simpati dari orang lain, dan supaya terpandang di masyarakat. Jadi, niatnya bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi, supaya tetap dekat dengan orang-orang yang mereka inginkan. Perbuatan semacam ini banyak terjadi di kalangan kaum munafiqin.21 Ancaman bagi orang-orang semacam ini, kedok mereka nantinya akan dibuka di hadapan umat manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائي اللهُ بِهِ
Siapa saja yang mencari-cari pujian, niscaya Allah akan memperdengarkan (hakikat niatnya yang buruk di hadapan manusia). Dan barang siapa berbuat riya, niscaya Dia akan memperlihatkan niat (buruknya di hadapan manusia). (HR al-Bukhâri, 6499 dan Muslim, 2986)
﴿ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ﴾
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna [7].
Berkaitan dengan pengertian al-ma’un, kalangan ulama tafsir mempunyai pendapat yang beragam, seperti zakat, barang pinjaman, kapak, panci, ember dan lain sebagainya.
Ibnu Katsir رحمه الله mengutip pernyataan ‘Ikrimah tentang masalah ini yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-ma’un, yang paling utama ialah zakat. Sedangkan yang paling rendah, ialah meminjamkan ember, jarum. Keterangan ini dinilai Ibnu Katsîr رحمه الله sebagai pernyataan yang hasan (bagus), karena mencakup seluruh keterangan yang ada, lantaran berujung kepada satu obyek. Yakni tidak menolong orang lain dengan harta atau jasa.22
Tingkat kekikiran mereka benar-benar memprihatinkan. Hati mereka seakan berat meski sekedar hanya meminjamkan barang-barang yang diperlukan oleh orang lain. Padahal barang-barang yang dipinjam itu akan tetap utuh, tidak berkurang. Sudah tentu, kekikiran yang demikian ini, juga menyebabkan mereka lebih sulit untuk mengulurkan barang-barang yang mungkin bisa “mengurangi” kekayaan mereka, seperti membayar zakat atau mengeluarkan sedekah.
Imam Ibnu Katsîr رحمه الله berkata,”Mereka tidak berbuat baik dalam beribadah kepada Rabb, dan juga tidak mau untuk berbuat baik kepada sesama, meski hanya dengan meminjamkan sesuatu barang yang bisa dimanfaatkan dan membantu meringankan orang lain, yang nantinya akan kembali kepada mereka secara utuh. Mereka itu akan lebih menahan diri dari membayar zakat dan sedekah lainnya yang mendekatkan diri kepada Allah”.23
Menahan diri tidak meminjamkan barang-barang yang berguna terbagi menjadi dua.24 Pertama, jenis yang dapat menyebabkan seseorang berdosa bila tidak melakukannya. Kedua, tidak membuatnya berdosa, tetapi kebaikan telah luput darinya.
Hal-hal yang wajib diberikan, sungguh seseorang menjadi berdosa karena menahannya. Dan perkara yang tidak bersifat wajib, maka seseorang yang menahannya tidak berdosa karenanya, akan tetapi kebaikan telah lepas darinya.
Sebagai contoh, seseorang dalam keadaan kehausan datang mengatakan “tolong beri saya air untuk saya minum; jika tidak, saya akan mati”. Dalam kondisi seperti ini, orang yang diminta pertolongannya wajib untuk memberikan air yang diperlukan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimîn رحمه الله memberikan sebuah pesan berharga, yang berbunyi:
“Kewajiban setiap orang untuk meneliti dirinya, apakah pada dirinya melekat sifat-sifat di atas, ataukah tidak? Apabila sifat-sifat tersebut ada padanya, (seperti) telah menyia-nyiakan shalat, menahan diri tidak berbuat baik bagi orang lain, maka hendaklah bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى . Kalau tidak, terimalah kabar menyedihkan, yaitu berupa kebinasaan. Semoga Allah سبحانه وتعالى melindungi kita dari sifa-sifat yang tidak terpuji. Apabila sudah selamat dari perkara-perkara di atas, bergembiralah dengan kebaikan yang telah ia peroleh. Tujuan Al-Qur‘ân diturunkan oleh Allah, tidak hanya sekedar untuk dibaca. Akan tetapi mengandung tujuan luhur. Yaitu agar manusia gemar menghiasi diri dengan kandungan akhlak yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Aisyah x berkata: “Sungguh, budi pekerti Rasulullahn adalah Al-Qur‘ân”.(HR Muslim). Maksudnya, tingkah laku yang biasa beliau ﷺ kerjakan, bersumber dari Al-Qur‘ân. Semoga Allah mencurahkan taufik kepada kita, sehingga dapat meraih kebaikan, keshalihan di dunia dan akhirat. Sungguh, Dia سبحانه وتعالى Mahakuasa atas segala sesuatu”.25
Pelajaran dari Surat al-Ma’un:
- Penetapan keyakinan tentang hari Kebangkitan dan Pembalasan.
- Hati yang tidak memiliki keimanan kepada hari Kebangkitan dan Pembalasan, maka pemiliknya adalah sejelek-jelek makhluk. Tidak ada kebaikan pada dirinya.
- Ancaman bagi orang-orang yang memakan harta anak yatim dan menghina mereka.
- Memperlihatkan pelaksanaan ibadah fardhu bukan riya. Termasuk ciri khas amalan yang wajib, dapat disaksikan oleh orang lain. Sebab merupakan syiarsyiar agama, dan orang yang meninggalkannya pantas dicela. Sehingga untuk menghilangkan tuduhan, maka disyariatkan untuk diperlihatkan.26
- Himbauan untuk memuliakan anak-anak yatim dan orang miskin.
- Allah سبحانه وتعالى mencela orang-orang yang melupakan hak-hak-Nya dan hak sesama manusia.27
- Pengaruh yang baik dari keimanan kepada hari Pembalasan.
- Perintah untuk memperhatikan shalat dan memeliharanya, serta berbuat ikhlas dalam seluruh amalan.
- Ancaman bagi orang yang menyepelekan shalat, tidak mempedulikan waktu melaksanakannya.
- Penjelasan metodelogi yang lurus bagi para penulis. Yaitu menghimpun seluruh nash tanpa membatasi pada sebagian nash saja. Seperti dalam memahami ayat “fawailul lil-mushallîn”. Ini adalah ayat yang berdiri sendiri (ayat no. 4). Bila diambil sendiri begitu saja, tanpa melihat kepada ayat yang lain, maka akan menjadi ancaman bagi orang-orang yang menjaga shalat. Oleh karenanya, harus disambungkan dengan ayatayat berikutnya.
- Anjuran untuk berbuat baik dan meminjamkan barang-barang yang sederhana, seperti ember, panci, kitab dan lainnya. Karena Allah سبحانه وتعالى mencela orang yang tidak melakukannya.
- Peringatan dari sifat-sifat yang melekat pada kaum munafiqin.
Footnote:
1) Surat ini termasuk Makkiyah. Lihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân (15/396), Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm (8/493)
2) Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (8/493).
3) Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân (15/396).
4) Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (20/193)
5) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 330.
6) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 330-331. Lihat pula Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta‘wil Ay Al-Qur‘ân (15/397).
7) Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, 1105.
8) Tatimmatu Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur‘ân bil-Qur‘ân (9/543-544).
9) Aisarut-Tafâsir fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, 1497.
10) Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (20/194).
11) Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân (15/397).
12) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 331.
13) Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (8/493). Pentahqiq, Syaikh Sâmi bin Muhammad as-Salâmah mengatakan bahwa dirinya belum menjumpai riwayat hadits tersebut di Shahîhul-Bukhâri. Begitu pula Imam al-Mizzi رحمه الله tidak memasukkan hadits tersebut dalam hitungan riwayat al-Bukhâri dalam kitab Tuhfatul-Asyrâf.
14) Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, hlm. 1105.
15) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 331-332.
16) Ahkâmil-Qur‘ân (4/342)
17) Diriwayatkan Imam ath Thabari dengan sanad hasan (at-Tafsîrush-Shahîh 4/673)
18) Silahkan dilihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân (15/397, 400), Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (20/194), dan TafsîrulQur`ânil-’Azhîm (8/493-594).
19) Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (20/195).
20) Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân (15/400).
21) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 332
22) Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm 8/497. Dalam riwayat al-Bukhari secara mu’allaq, perkataan ‘Ikrimah berbunyi: “Yang paling tinggi adalah zakat yang wajib. Dan yang paling rendah adalah meminjamkan barang”.
23) Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm (8/495)
24) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma, hlm. 333.
25) Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juzz ‘Amma hlm. 333-33426) Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân (20/195).
27) Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, hlm. 1104
Maraji‘:
- Al-Qur‘ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd Madinah.
- Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur‘ân bil-Qur‘ân (Tatimmah li Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Sâlim), Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
- Ahkâmul-Qur‘an, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-’Arabi), Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cet. I, Th. 1421 H – 2000 M.
- Aisarut-Tafâsir fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
- Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Anshâri alQurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, DârulKitâbil-’Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001 M.
- Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
- Tafsîrul-Qur‘ânil-Karîm Juz ‘Amma, Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn, Daruts-Tsurayya, Cet. III, Th. 1424 H – 2003 M.
- Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cet. I, Th. 1422 H – 2002 M.
- Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
Majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/tafsir-surat-al-maun/